Minggu, 27 Maret 2011

Berbagai Surat Kabar di Indonesia

Nasional

[sunting] Daerah

[sunting] Sumatera

Jawa & Bali

Nusa Tenggara

Kalimantan

Sulawesi

Papua

Sejarah Surat Kabar Indonesia

Lebih dari 200 tahun surat kabar menjalankan fungsinya sebagai satu-satunya media penyampai berita kepada khalayak dan sebagai sumber satu-satunya bagi khalayak dalam mengakses informasi yang sama secara bersamaan. Surat kabar pertama kali diterbitkan di Eropa pada abad ke-17. Di Indonesia sendiri, surat kabar berkembang dan mempunyai peranannya sendiri di tengah masyarakat hingga sekarang. Sejarah mencatat bahwa produk mesin cetak Johann Gutenberg ini, telah mengambil peran yang cukup signifikan dalam perkembangan surat kabar di Indonesia dari berbagai aspek kehidupan keterkaitannya sebagai media massa yang berpengaruh di masyarakat. Berikut adalah paparan singkat mengenai surat kabar di Indonesia.

Dua Babak Sejarah

Pada dasarnya, sejarah surat kabar di Indonesia terbagi dalam dua babak yakni babak pertama yang biasa disebut babak putih dan babak kedua antara tahun 1854 hingga Kebangkitan Nasional. Kedua babak inilah yang amat berperan dalam perkembangan surat kabar di Indonesia. Babak pertama adalah babak putih, yaitu saat Indonesia masih dalam keadaan terjajah oleh kolonialisme Belanda. Disebut babak putih karena surat kabar pada waktu itu mutlak milik orang-orang Eropa, berbahasa Belanda dan diperuntukkan bagi pembaca berbahasa Belanda. Kontennya hanya seputar kehidupan orang-orang Eropa dan tidak mempunyai kaitan kehidupan pribumi. Babak ini berlangsung antara tahun 1744-1854. Babak kedua yang berlangsung antara tahun 1854 hingga Kebangkitan Nasional secara kasar dapat dibagi dalam tiga periode, yakni:

Antara tahun 1854-1860

Dalam periode ini surat kabar dengan bahasa Belanda masih memegang peranan pening dalam dunia pers Indonesia, namun surat kabar dengan bahasa Melayu telah terbit bernama Slompret Melajoe.

Antara tahun 1860-1880

Surat kabar dengan bahasa pra-Indonesia dan Melayu mulai banyak bermunculan tetapi yang menjadi pemimpin surat kabar-surat kabar ini semuanya adalah orang-orang dari peranakan Eropa.

Antara tahun 1881 sampai Kebangkitan Nasional

Periode ini mempunyai ciri tersendiri karena para pekerja pers terutama para redakturnya tidak lagi dari peranakan Eropa tetapi mulai banyak peranakan Tionghoa dan Indonesia atau biasa disebut dengan pribumi.

Lima Periode Surat Kabar Indonesia

Surat kabar di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang yang secara singkat terbagi dalam enam periode, yakni zaman Belanda, zaman Jepang, zaman kemerdekaan, zaman Orde Lama, zaman Orde Baru dan zaman reformasi. Berikut uraian singkat keenam periode bersejarah tersebut:

Zaman Belanda

Pada tahun 1744 dilakukanlah percobaan pertama untuk menerbitkan media massa dengan diterbitkannya surat kabar pertama pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Van Imhoff dengan nama Bataviasche Nouvelles, tetapi surat kabar ini hanya mempunyai masa hidup selama dua tahun. Kemudian pada tahun 1828 diterbitkanlah Javasche Courant di Jakarta yang memuat berita-berita resmi pemerintahan, berita lelang dan berita kutipan dari harian-harian di Eropa. Mesin cetak pertama di Indonesia juga datang melalui Batavia (Jakarta) melalui seorang Nederland bernama W. Bruining dari Rotterdam yang kemudian menerbitkan surat kabar bernama Het Bataviasche Advertantie Blad yang memuat iklan-iklan dan berita-berita umum yang dikutip dari penerbitan resmi di Nederland (Staatscourant).
Di Surabaya sendiri pada periode ini telah terbit Soerabajasch Advertantiebland yang kemudian berganti menjadi Soerabajasch Niews en Advertantiebland. Sedang di Semarang terbit Semarangsche Advertetiebland dan De Semarangsche Courant. Secara umum serat kabar-surat kabar yang muncul saat itu tidak mempunyai arti secara politis karena cenderung pada iklan dari segi konten. Tirasnya tidak lebih dari 1000-1200 eksemplar tiap harinya. Setiap surat kabar yang beredar harulah melalui penyaringan oleh pihak pemerintahan Gubernur Jenderal di Bogor. Tidak hanya itu, surat kabar Belandapun terbit di daerah Sumatera dan Sulawesi. Di Padang terbit Soematra Courant, Padang Handeslsbland dan Bentara Melajoe. Di Makasar (Ujung Pandang) terbit Celebes Courant dan Makassarsch Handelsbland.
Pada tahun 1885 di seluruh daerah yang dikuasai Belanda telah terbit sekitar 16 surat kabar dalam bahasa Belanda dan 12 surat kabar dalam bahasa Melayu seperti, Bintang Barat, Hindia-Nederland, Dinihari, Bintang Djohar (terbit di Bogor), Selompret Melayu dan Tjahaja Moelia, Pemberitaan Bahroe (Surabaya) dan surat kabar berbahasa Jawa, Bromatani yang terbit di Solo.

Zaman Jepang

Saat wajah penjajah berganti dan Jepang memasuki Indonesia, surat kabar-surat kabar yang beredar di Indonesia diambil alih secara pelan-pelan. Beberapa surat kabar disatukan dengan alasan penghematan namun yang sebenarnya adalah agar pemerintah Jepang memperketat pengawasan terhadat isi surat kabar. Kantor Berita Antara diambil alih dan diubah menjadi kantor berita Yashima dengan berpusat di Domei, Jepang. Konten surat kabar dimanfaatkan sebagai alat propaganda untuk memuji-muji pemerintahan Jepang. Wartawan Indonesia saat itu bekerja sebagai pegawai sedang yang mempunyai kedudukan tinggi adalah orang-orang yang sengaja didatangkan dari Jepang.

Zaman Kemerdekaan

Ketika pemerintah Jepang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda pencitraan pemerintah, Indonesiapun melakukan hal yang sama untuk melakukan perlawanan dalam hal sabotase komunikasi. Edi Soeradi melakukan propaganda agar rakyat berdatangan pada Rapat Raksasa Ikada pada tanggal 19 September 1945 untuk mendengarkan pidato Bung Karno. Dalam perjalanannya, Berita Indonesia (BI) berulang kali mengalami pembredelan dimana selama pembredelan tersebut para pegawai kemudian ditampung oleh surat kabar Merdeka yang didirikan oleh B.M. Diah. Surat kabar perjuangan lainnya adalah Harian Rakyat dengan pemimpin redaksi Samsudin Sutan Makmr dan Rinto Alwi dimana surat kabar tersebut menampilkan “pojok” dan “Bang Golok” sebagai artikel. Surat kabar lainnya yan terbit pada masa ini adalah Soeara Indonesia, Pedoman Harian yang berubah menjadi Soeara Merdeka (Bandung), Kedaulatan Rakyat (Bukittinggi), Demokrasi (Padang) dan Oetoesan Soematra (Padang).

Zaman Orde Lama

Setelah dikeluarkannya dekrit presiden tanggal 5 Juli 1959 oleh presiden Soekarno, terdapat larangan terhadap kegiatan politik termasuk pers. Persyaratan untuk mendapat Surat Izin Terbit dan Surat Izin Cetak diperketat yang kemudian situasi ini dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia untuk melakukan slowdown atau mogok secara halus oleh para buruh dan pegawai surat kabar. Karyawan pada bagian setting melambatkan pekerjaannya yang membuat banyak kolom surat kabar tidak terisi menjelang batas waktu cetak (deadline). Pada akhirnya kolom tersebut diisi iklan gratis. Hal ini menimpa surat kabar Soerabaja Post dan Harian Pedoman di Jakarta. Pada periode ini banyak terjadi kasus antara surat kabar pro PKI dan anti PKI.

Zaman Orde Baru

Pada periode ini, surat kabar yang dipaksa untuk berafiliasi kembali mendapatkan pribadi awalnya, seperti Kedaulatan Rakyat yang pada zaman orde lama harus berganti menjadi Dwikora. Hal ini juga terjadi pada Pikiran Rakyat di Bandung. Bahkan pers kampuspun mulai aktif kembali. Namun dibalik itu semua, pengawasan dan pengekangan pada pers terutama dalam hal konten tetap diberlakukan. Pemberitaan yang dianggap merugikan pemerintah harus dibredel dan dihukum dengan dilakukan pencabutan SIUP seperti yang terjadi pada Sinar Harapan, tabloid Monitor dan Detik serta majalah Tempo dan Editor. Pers lagi-lagi dibayangi dalam kekuasaan pemerintah yang cenderung memborgol kebebasan pers dalam membuat berita serta menghilangkan fungsi pers sebagai kontrol sosial terhadap kinerja pemerintah. Pembredalanpun marak pada periode ini.

Jumat, 25 Maret 2011

Company Profile

Bandung Kota Kenangan


Perjalanan sebuah kota terpatri dan terekam dalam bebagai situs serta benda bersejarah. Saksi bisu itu menceritakan perjalanan masa lalu sebuah kota, perkembangan kota tersebut ketika memasuki masa jaya dan keemasan, maupun ketika terpuruk runtuh dalam peperangan.

Salah satu saksi bisu peradaban sebuah kota dapat kita saksikan dalam bangunan-bangunan yang ada di dalamnya. Kota Bandung dalam hal ini merupakan salah satu kota yang bisa dibilang beruntung, karena Bandung sampai saat ini masih banyak memiliki saksi sejarah yaitu berbagai bangunan tua dengan bermacam langgam arsitektur.  Setidaknya, berdasarkan catatan yang dimiliki Paguyuban Pelestarian Budaya atau yang lebih dikenal dengan nama Bandung Heritage, ada sekitar 1.000 rumah atau bangunan bersejarah di kota yang mendapat julukan Paris van Java ini.

Berbagai peristiwa penting yang pernah dialami dan terjadi di kota ini seolah terekam dalam bangunan-bangunan nan megah peninggalan masa lalu tersebut. Melalui bangunan-bangunan bersejarah itu, kita bisa menelusuri perjalanan sejarah kota dan masyarakat Bandung.

Berbagai bangunan tua bersejarah di Kota Bandung yang hingga kini masih berdiri antara lain adalah Gedung Sate, Kampus Institut teknologi Bandung, Gedung Medeka, Hotel Preanger, Vihara Sathya Budi, Gedung Pakuan, dan Banyak lainnya. Dari segi arsitektur, Bandung bahan pernah dijuluki sebagai salah satu laboratorium arsitektu paling lengkap di Indonesia karena sampai saat ini masih menyimpan berbagai berbagai gaya arsitektur, semisal art deco.

Sejarah Bandung
Berbagai bangunan unik nan antik yang ada di Bandung tak lepas dari sejarah Kota Bandung sendiri. Sejarah Bandung diawali dengan pembentukan Kabupaten Bandung  pada pertengahan abad 17 dengan  Bupati pertama Tumenggung Wiraanggunan. Pada masa itu tak berarti kota Bandung ikut terbentuk. Terdapat rentang waktu yang cukup jauh antara pembentukan Kabupaten dan Kotamadya Bandung.

Keberadaan Bandung juga ikut diperkuat dengan berbagai laporan perjalanan yang saat ini masih terdokumentasikan, misalnya laporan perjalanan seorang pengembara dari negeri Belanda bernama Juliaen de Silva pada tahun 1614. Laporan itu menyatakan bahwa pada saat itu ada sebuah tempat bernama Bandung yang berisikan 25 sampai 30 rumah. Juliaen de Silva sendiri dipercaya sebagai orang asing pertama yang menginjak tanah Bandung.

Setelah terbentuknya Kabupaten Bandung, barulah Kota Bandung terbentuk pada masa Gurbenur Jenderal Hindia Barat Herman William Deandels tahun 1808 sampai 1811. Daendels pada masa itu memerintahkan agar ibu kota Bandung dipindahkan dari Dayeuhkolot ke Alun-alun.

Setelah pemindahan itu, Daendels meneruskan perjalanan kakinya dengan menyeberangi jembatan Cikapundung sampai ia berhenti dan menancapkan tongkatnya sembari berkata, "Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd!" Yang artinya, "Coba usahakan, bila aku datang kembali di tempat ini telah dibangun sebuah kota!"

Konon, di tempat Daendels menancapkan tongkatnya, dibuatlah sebuah patok atau tugu yang kemudian dinyatakan sebagai Kilometer "0" (nol),  yang saat ini berlokasi di depan Dinas Bina Marga, Jawa Barat, Jalan Asia-Afrika, Bandung. Lewat perintahnya itulah kemudian orang bergegas membangun Kota Bandung, hingga akhirnya menemui bentuknya seperti sekarang ini.

Meskipun Daendels yang memerintahkan pembangunan tersebut,  Bandung tidak dibangun hanya atas prakarsa Daendels semata, melainkan atas prakarsa Bupati Bandung R A Wiranatakusumah II yang juga merupakan pendiri (the founding father) Bandung.

Kota Bandung berkembang dengan sangat pesat setelah pembentukannya. Hawa yang sejuk, letak yang strategis, dan tanah yang subur membuat Bandung digemari oleh berbagai kalangan pada masa itu, baik itu orang Eropa maupun orang pribumi.

Pada abad 19, daerah Priangan memang dikenal sebagai daerah perkebunan komersil, karena itu Bandung semakin pesat berkembang. Hotel, cafe, pertokoan muncul untuk melayani para petani dan tuan tanah. Hotel Preanger dan Savoy Homann adalah hotel-hotel pilihan pada masa itu. Jalan Braga juga mencapai masa keemasan. Di sepanjang jalan Braga pada masa itu banyak terdapat toko eksklusif Eropa.

Perkembangan Bandung tak terhenti hanya sampai di situ, awal tahun 1900-an Bandung bahkan sempat dicalonkan sebagai ibukota Hindia Belanda. Itulah sebabnya pada masa itu Bandung mengalami pembangunan yang cukup intensif. Pembangunan itu membuat Bandung menyimpan banyak karya arsitektur bergaya Indo-Eropa. Hal itu membuat Bandung saat itu dijuluki The Most European City in the  East Indies
Perjalanan yang panjang itulah yang membuat Bandung saat ini kaya akan warisan bangunan bersejarah. Kebanyakan peninggalan arsitektur yang saat ini masih berdiri di Bandung berusia sekurangnya 50 tahun dan dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Warisan arsitektur yang berusia lebih dari 50 tahun  di Bandung terbagi dalam tiga kelompok gaya yaitu  lokal Sunda, Cina, dan Indo Eropa.
Arsitektur lokal kebanyakan berada di wilayah alun-alun Bandung. Karya arsitektur lokal tersebut diantaranya adalah Masjid Agung yang didirikan pada tahun 1812 dan Kompleks Pendopo Kabupaten yang didirikan pada tahun 1867.
Karya  arsitektur Cina tersebar di sebelah barat daya alun-alun yang bisa dilihat pada Hotel Surabaya yang berdiri tahun 1884, dan area sekitar Pasar Baru yang dibangun pada tahun 1906.
Arsitektur Indo-Eropa mulai terlihat ketika Gedong Pakuan dibangun pada tahun 1864. Namun gaya arsitektur  Indo-Eropa berkembang paling pesat pada awal 1900-an ketika Bandung  mempersiapkan dirinya sebagai ibukota. Pembangunan gaya arsiterktur Indo-Eropa banyak didapati di Jalan Asia-Afrika. Art Deco adalah gaya yang banyak diterapkan saat itu
Banyak yang tidak tahu, ternyata Bandung adalah kota yang paling banyak menyimpan karya Art Deco ketiga di dunia setelah Miami, Florida dan Napier, New Zealand.

Bangunan yang bergaya arsitektur art deco itu antara lain Hotel Savoy Homann yang dibangun pada tahun 1880. Sebenarnya bangunan Hotel  Savoy Homann ini adalah milik orang Jerman yang bernama A. Homann. Sejak awal berdirinya bangunan ini telah mengalami banyak perubahan dan pengalihan fungsi yang awalnya bernama Hotel Post Road, lalu pada tahun 1883 menjadi Gothic Revial. Tapi pada tahun 1938 bangunan ini sempat dipugar dan dibangun kembali oleh arsitek ternama AF Aalbers dan RA de Wall hingga seperti penampilan yang sekarang. Pada tahun 1941 sempat menjadi wisma Palang Merah Indonesia, lalu pada tahun 1945 digunakan sebagai wisma tentara Jepang, dan baru menjadi hotel lagi pada tahun 1949 sebagai tempat inap para delegasi Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Namun pada tahun 1987 bangunan hotel ini dibeli oleh HEK Ruhiat.
Situs bersejarah berikutnya adalah Grand Hotel Preanger yang dibangun pada tahun 1897.  Societiet Concordia atau yang sekarang lebih dikenal dengan Gedung Merdeka yang dibangun pada tahun 1895, Pabrik Kina di Jalan Padjadjaran yang dibangun pada tahun 1854, Gedung Sate yang dibangun pada tahun  1920, dan Vila Isola yang saat ini masih berdiri di kompleks UPI Setiabudi Bandung. Bangunan-bangunan tersebut sampai saat ini masih berdiri sesuai dengan kondisi aslinya pada saat pertama kali dibangun. Meskipun pernah mengalami  perbaikan, kondisi asli bangunan  tetap dipertahankan.

Bangunan tua nan bersejarah yang saat ini masih tegak berdiri di Bandung memiliki berbagai fungsi untuk berbagai kalangan yang ada di Bandung
Selain itu, bangunan tua juga memiliki berbagai dungsi penting lain bagi manusia.

Tetapi, keberadaan bangunan peninggalan masa kolonialisme di Kota Bandung  saat ini makin terabaikan. Dari ratusan bangunan yang dibangun, hanya 50 bangunan yang tercatat di Balai Pengelolaan Kepurbakalaan, Sejarah, dan Nilai Tradisional Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jabar

Padahal kita semua harus mementingkan sejarah dalam kehidupan

Setiap kota memang menuntut adanya perubahan seiring dengan perkembangan peradaban masyarakatnya. Kehadiran bangunan tua kini banyak dianggap hanya sebagai penghalang kemajuan dan moderenisasi semata. Padahal ada berbagai cara untuk menyelamatkan dna memelihara bangunan tua tersebut.
Pada saat ini, apresiasi masyarakat luas terhadap bangunan tua bersejarah di Bandung rupanya tidak sebesar yang diperlukan. Hal ini terlihak dengan makin banyaknya bangunan yang terlantar dan terbenengkalai bahkan perlahan menuju keruntuhan. Padahal bangunan lama itu dapat menunjukan keragaman budaya dan sejarah generasi masa lampau.
Apabila bangunan-bangunan tua bersejarah tersebut dipelihara dan dipertahankan, dapat menjadi potensi besar bagi sektor pariwisata di Bandung, karena bangunan tua bersejarah sangatlah unik dan langka, tidak bisa didapati atau ditemui di sembarang kota.
Masalah perkotaan yang kompleks dewasa ini telah menyebabkan eksistensi sebagian besar karya arsitektur, kawasan, dan taman historis di Bandung terancam. Hal ini harus segera dicari solusinya, terutama oleh pemerintah Kota Bandung.
Cagar budaya yang salah satu komponennya adalah bangunan-bangunan bersejarah merupakan aset kebudayaan yang tidak ternilai. Selain ikon atau ciri khas kota, bangunan itu berfungsi sebagai penanda nilai-nilai budaya dan sejarah. Maka, sewajarnya segala komponen berupaya melestarikan keberadaannya.