Jumat, 25 Maret 2011

Bandung Kota Kenangan


Perjalanan sebuah kota terpatri dan terekam dalam bebagai situs serta benda bersejarah. Saksi bisu itu menceritakan perjalanan masa lalu sebuah kota, perkembangan kota tersebut ketika memasuki masa jaya dan keemasan, maupun ketika terpuruk runtuh dalam peperangan.

Salah satu saksi bisu peradaban sebuah kota dapat kita saksikan dalam bangunan-bangunan yang ada di dalamnya. Kota Bandung dalam hal ini merupakan salah satu kota yang bisa dibilang beruntung, karena Bandung sampai saat ini masih banyak memiliki saksi sejarah yaitu berbagai bangunan tua dengan bermacam langgam arsitektur.  Setidaknya, berdasarkan catatan yang dimiliki Paguyuban Pelestarian Budaya atau yang lebih dikenal dengan nama Bandung Heritage, ada sekitar 1.000 rumah atau bangunan bersejarah di kota yang mendapat julukan Paris van Java ini.

Berbagai peristiwa penting yang pernah dialami dan terjadi di kota ini seolah terekam dalam bangunan-bangunan nan megah peninggalan masa lalu tersebut. Melalui bangunan-bangunan bersejarah itu, kita bisa menelusuri perjalanan sejarah kota dan masyarakat Bandung.

Berbagai bangunan tua bersejarah di Kota Bandung yang hingga kini masih berdiri antara lain adalah Gedung Sate, Kampus Institut teknologi Bandung, Gedung Medeka, Hotel Preanger, Vihara Sathya Budi, Gedung Pakuan, dan Banyak lainnya. Dari segi arsitektur, Bandung bahan pernah dijuluki sebagai salah satu laboratorium arsitektu paling lengkap di Indonesia karena sampai saat ini masih menyimpan berbagai berbagai gaya arsitektur, semisal art deco.

Sejarah Bandung
Berbagai bangunan unik nan antik yang ada di Bandung tak lepas dari sejarah Kota Bandung sendiri. Sejarah Bandung diawali dengan pembentukan Kabupaten Bandung  pada pertengahan abad 17 dengan  Bupati pertama Tumenggung Wiraanggunan. Pada masa itu tak berarti kota Bandung ikut terbentuk. Terdapat rentang waktu yang cukup jauh antara pembentukan Kabupaten dan Kotamadya Bandung.

Keberadaan Bandung juga ikut diperkuat dengan berbagai laporan perjalanan yang saat ini masih terdokumentasikan, misalnya laporan perjalanan seorang pengembara dari negeri Belanda bernama Juliaen de Silva pada tahun 1614. Laporan itu menyatakan bahwa pada saat itu ada sebuah tempat bernama Bandung yang berisikan 25 sampai 30 rumah. Juliaen de Silva sendiri dipercaya sebagai orang asing pertama yang menginjak tanah Bandung.

Setelah terbentuknya Kabupaten Bandung, barulah Kota Bandung terbentuk pada masa Gurbenur Jenderal Hindia Barat Herman William Deandels tahun 1808 sampai 1811. Daendels pada masa itu memerintahkan agar ibu kota Bandung dipindahkan dari Dayeuhkolot ke Alun-alun.

Setelah pemindahan itu, Daendels meneruskan perjalanan kakinya dengan menyeberangi jembatan Cikapundung sampai ia berhenti dan menancapkan tongkatnya sembari berkata, "Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd!" Yang artinya, "Coba usahakan, bila aku datang kembali di tempat ini telah dibangun sebuah kota!"

Konon, di tempat Daendels menancapkan tongkatnya, dibuatlah sebuah patok atau tugu yang kemudian dinyatakan sebagai Kilometer "0" (nol),  yang saat ini berlokasi di depan Dinas Bina Marga, Jawa Barat, Jalan Asia-Afrika, Bandung. Lewat perintahnya itulah kemudian orang bergegas membangun Kota Bandung, hingga akhirnya menemui bentuknya seperti sekarang ini.

Meskipun Daendels yang memerintahkan pembangunan tersebut,  Bandung tidak dibangun hanya atas prakarsa Daendels semata, melainkan atas prakarsa Bupati Bandung R A Wiranatakusumah II yang juga merupakan pendiri (the founding father) Bandung.

Kota Bandung berkembang dengan sangat pesat setelah pembentukannya. Hawa yang sejuk, letak yang strategis, dan tanah yang subur membuat Bandung digemari oleh berbagai kalangan pada masa itu, baik itu orang Eropa maupun orang pribumi.

Pada abad 19, daerah Priangan memang dikenal sebagai daerah perkebunan komersil, karena itu Bandung semakin pesat berkembang. Hotel, cafe, pertokoan muncul untuk melayani para petani dan tuan tanah. Hotel Preanger dan Savoy Homann adalah hotel-hotel pilihan pada masa itu. Jalan Braga juga mencapai masa keemasan. Di sepanjang jalan Braga pada masa itu banyak terdapat toko eksklusif Eropa.

Perkembangan Bandung tak terhenti hanya sampai di situ, awal tahun 1900-an Bandung bahkan sempat dicalonkan sebagai ibukota Hindia Belanda. Itulah sebabnya pada masa itu Bandung mengalami pembangunan yang cukup intensif. Pembangunan itu membuat Bandung menyimpan banyak karya arsitektur bergaya Indo-Eropa. Hal itu membuat Bandung saat itu dijuluki The Most European City in the  East Indies
Perjalanan yang panjang itulah yang membuat Bandung saat ini kaya akan warisan bangunan bersejarah. Kebanyakan peninggalan arsitektur yang saat ini masih berdiri di Bandung berusia sekurangnya 50 tahun dan dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Warisan arsitektur yang berusia lebih dari 50 tahun  di Bandung terbagi dalam tiga kelompok gaya yaitu  lokal Sunda, Cina, dan Indo Eropa.
Arsitektur lokal kebanyakan berada di wilayah alun-alun Bandung. Karya arsitektur lokal tersebut diantaranya adalah Masjid Agung yang didirikan pada tahun 1812 dan Kompleks Pendopo Kabupaten yang didirikan pada tahun 1867.
Karya  arsitektur Cina tersebar di sebelah barat daya alun-alun yang bisa dilihat pada Hotel Surabaya yang berdiri tahun 1884, dan area sekitar Pasar Baru yang dibangun pada tahun 1906.
Arsitektur Indo-Eropa mulai terlihat ketika Gedong Pakuan dibangun pada tahun 1864. Namun gaya arsitektur  Indo-Eropa berkembang paling pesat pada awal 1900-an ketika Bandung  mempersiapkan dirinya sebagai ibukota. Pembangunan gaya arsiterktur Indo-Eropa banyak didapati di Jalan Asia-Afrika. Art Deco adalah gaya yang banyak diterapkan saat itu
Banyak yang tidak tahu, ternyata Bandung adalah kota yang paling banyak menyimpan karya Art Deco ketiga di dunia setelah Miami, Florida dan Napier, New Zealand.

Bangunan yang bergaya arsitektur art deco itu antara lain Hotel Savoy Homann yang dibangun pada tahun 1880. Sebenarnya bangunan Hotel  Savoy Homann ini adalah milik orang Jerman yang bernama A. Homann. Sejak awal berdirinya bangunan ini telah mengalami banyak perubahan dan pengalihan fungsi yang awalnya bernama Hotel Post Road, lalu pada tahun 1883 menjadi Gothic Revial. Tapi pada tahun 1938 bangunan ini sempat dipugar dan dibangun kembali oleh arsitek ternama AF Aalbers dan RA de Wall hingga seperti penampilan yang sekarang. Pada tahun 1941 sempat menjadi wisma Palang Merah Indonesia, lalu pada tahun 1945 digunakan sebagai wisma tentara Jepang, dan baru menjadi hotel lagi pada tahun 1949 sebagai tempat inap para delegasi Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Namun pada tahun 1987 bangunan hotel ini dibeli oleh HEK Ruhiat.
Situs bersejarah berikutnya adalah Grand Hotel Preanger yang dibangun pada tahun 1897.  Societiet Concordia atau yang sekarang lebih dikenal dengan Gedung Merdeka yang dibangun pada tahun 1895, Pabrik Kina di Jalan Padjadjaran yang dibangun pada tahun 1854, Gedung Sate yang dibangun pada tahun  1920, dan Vila Isola yang saat ini masih berdiri di kompleks UPI Setiabudi Bandung. Bangunan-bangunan tersebut sampai saat ini masih berdiri sesuai dengan kondisi aslinya pada saat pertama kali dibangun. Meskipun pernah mengalami  perbaikan, kondisi asli bangunan  tetap dipertahankan.

Bangunan tua nan bersejarah yang saat ini masih tegak berdiri di Bandung memiliki berbagai fungsi untuk berbagai kalangan yang ada di Bandung
Selain itu, bangunan tua juga memiliki berbagai dungsi penting lain bagi manusia.

Tetapi, keberadaan bangunan peninggalan masa kolonialisme di Kota Bandung  saat ini makin terabaikan. Dari ratusan bangunan yang dibangun, hanya 50 bangunan yang tercatat di Balai Pengelolaan Kepurbakalaan, Sejarah, dan Nilai Tradisional Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jabar

Padahal kita semua harus mementingkan sejarah dalam kehidupan

Setiap kota memang menuntut adanya perubahan seiring dengan perkembangan peradaban masyarakatnya. Kehadiran bangunan tua kini banyak dianggap hanya sebagai penghalang kemajuan dan moderenisasi semata. Padahal ada berbagai cara untuk menyelamatkan dna memelihara bangunan tua tersebut.
Pada saat ini, apresiasi masyarakat luas terhadap bangunan tua bersejarah di Bandung rupanya tidak sebesar yang diperlukan. Hal ini terlihak dengan makin banyaknya bangunan yang terlantar dan terbenengkalai bahkan perlahan menuju keruntuhan. Padahal bangunan lama itu dapat menunjukan keragaman budaya dan sejarah generasi masa lampau.
Apabila bangunan-bangunan tua bersejarah tersebut dipelihara dan dipertahankan, dapat menjadi potensi besar bagi sektor pariwisata di Bandung, karena bangunan tua bersejarah sangatlah unik dan langka, tidak bisa didapati atau ditemui di sembarang kota.
Masalah perkotaan yang kompleks dewasa ini telah menyebabkan eksistensi sebagian besar karya arsitektur, kawasan, dan taman historis di Bandung terancam. Hal ini harus segera dicari solusinya, terutama oleh pemerintah Kota Bandung.
Cagar budaya yang salah satu komponennya adalah bangunan-bangunan bersejarah merupakan aset kebudayaan yang tidak ternilai. Selain ikon atau ciri khas kota, bangunan itu berfungsi sebagai penanda nilai-nilai budaya dan sejarah. Maka, sewajarnya segala komponen berupaya melestarikan keberadaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar